Kerangka berpikir sebenarnya dibuat untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam berargumentasi (fallacy). Beberapa contoh fallacy ini antara lain: "Inconsistent": Contohnya si A bilang "Sirah dan hadits tidak bisa dipercaya karena banyak isinya yang tidak masuk akal". Tapi ketika A ditanya dari mana ia tahu adanya seorang Nabi yang bernama Muhammad, atau dari mana ia tahu Qur'an yang ia percayai terjaga kemurniaannya sejak zaman Nabi sampai sekarang, bila si A menjawab dengan basis sirah dan hadith, ini namanya inkonsistensi. Kalau tidak percaya sirah dan hadits, mengapa masih dipakai untuk dasar keimanannya?
Contoh lainnya adalah sikap misionaris yang ketika menghujat Nabi SAW dengan leluasa menggunakan cuplikan-cuplikan hadits dan sirah sesukanya (Nabi berpoligami, kisah-kisah dalam peperangan beliau, dlsb). Tapi ketika ditunjukkan hadits dan sirah dari sumber yang sama, yang menunjukkan tanda-tanda kenabian Nabi seperti mu'jizat-mu'jizat beliau, mereka berkomentar bahwa hadits dan sirah tidak bisa dipercaya karena dibukukan jauh sesudah Nabi wafat. Kalau tidak bisa dipercaya, mengapa tadi masih dipakai untuk menghujat Nabi?
Contoh lainnya adalah sikap yang membenarkan semua pendapat yang pada kenyataannya jelas-jelas berbeda. Kalau ada orang yang bilang "Semua interpretasi atau tafsiran agama adalah sah-sah saja dan benar adanya karena kebenaran itu relatif sifatnya", maka ia harus bisa konsisten untuk tidak menyalahkan pendapat yang menghalalkan terorisme membunuh orang-orang tak berdosa, atau pendapat-pendapat yang menghalalkan sex bebas, incest, dlsb, dengan alasan selama suka sama suka dan tidak merugikan orang tidak ada salahnya. Apakah dua pendapat yang berbeda, yang satu bilang halal, yang lain bilang haram, benar kedua-duanya?
Kalau kita mau jujur, kita akan mengakui bahwa "logical circuit" dalam otak kita jelas menolaknya. "Incomprehensive": Si A bilang "Orang Islam diajarkan Qur'an ayat 5:51 untuk membenci dan dilarang berteman dengan orang-orang non-Muslim." Selain harus memiliki pengetahuan akan makna kata-kata, context maupun historical perspectives, si A sebelum mengeluarkan penafsirannya akan ayat tsb seharusnya tahu ada ayat-ayat Al Qur'an lain yang menjelaskan lebih jauh mengenai hal serupa, misalnya 60:8. Pengetahuan yang partial terhadap hal-hal ini akan menyebabkan kesalahan dalam mengambil kesimpulan.
"Out-of-context": Si A bilang "Dalam Al Qur'an ayat 9:5, orang Islam diperintahkan membunuh orang-orang musyrik di mana saja mereka jumpai". Si A seharusnya tahu konteks diturunkannya ayat tsb sebelum mengambil kesimpulan demikian (yaitu peperangan Nabi dengan orang-orang kafir Quraisy serta sekutu-sekutu mereka yang memerangi umat Islam saat itu).
"Generalization": Ini serupa dengan pepatah "Karena nila setitik rusak susu sebelanga". Si A menuduh Islam sebagai agama teroris karena di antara pemeluk-pemeluknya tidak sedikit melakukan aksi terorisme dengan dalih agama. Si A seharusnya tahu bahwa kalau dilihat persentasinya, mayoritas umat Islam adalah umat yang cinta damai dan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama yang jelas-jelas melarang aksi terorisme. Apakah orang-orang Kristen di barat rela kalau agamanya dituduh sebagai agama penjajah "gold-glory-gospel" karena perlakuan sebagian kelompok mereka terhadap bangsa-bangsa di dunia?
"Double-standard": Si A yang beragama Kristen bilang "Islam adalah agama palsu karena Nabinya berpoligami". Seharusnya si A tahu bahwa Nabi-nabi yang diakui dalam agamanya sendiri berpoligami. Atau si B yang mengutuk pembunuhan orang-orang tak bersalah sebagai perbuatan terorisme, tapi di lain waktu si B tidak mengutuk pembunuhan serupa malah melabelnya sebagai "collateral damage". Dengan menggunakan standard yang sama, pembunuhan orang-orang tak bersalah akan selalu dikutuk sebagai tindakan terorisme, tidak peduli siapa korban dan siapa pelakunya.
"Straw-man" : menyerang argument yang sudah diubah bentuknya (biasanya dicampur "half-truth" atau "twisted-truth"). Misalnya si A menuduh "Al Qur'an merendahkan status wanita di bawah status laki-laki". Meskipun dalam Qur'an disebutkan "Laki-laki adalah pelindung/pemimpin kaum wanita" ini tidak berarti di dalam Islam status wanita itu lebih rendah dari status laki-laki karena masing-masing memiliki role yang berbeda dalam pandangan Allah SWT.
"Red-herring" : mengalihkan subject sehingga bukan membahas argument yang tengah didiskusikan, tapi argument lainnya. Misalnya, ketika si A ditanya tentang kontradiksi di dalam Bible, bukannya menjawab pertanyaan tsb, si A malah membawa tuduhan banyaknya kontradiksi di dalam Qur'an.
"Appeal to authority": Si A bilang ke si B "Argument anda pasti salah karena berlawanan dengan pendapat seorang professor yang ahli dalam bidang ini". Si A sudah men-shut-off the discussion hanya dengan merefer ke authority yang dipercayainya, tanpa menjelaskan argument si professor yang disebutnya tadi.
"Ad-hominem" (argument to the man): bukan argumentnya yang dibahas, tapi yang diserang adalah pribadi lawan debat yang tidak berhubungan dengan argument yang didebatkan. Misalnya, "Pendapat si A itu sudah pasti salah karena si A itu tidak pernah sekolah di pesantren", atau "Ah, pendapat si B yang playboy kayak gitu kok dibahas!". Padahal logis tidaknya suatu argument tidak bisa ditentukan dari pribadi orang yang berargument. Dalam beargumentasi, yang harus dilihat adalah argumentnya, jangan diserang orangnya.
etc.
Kerangka berpikir hanyalah "tool" (framework) yang bisa digunakan dalam proses berpikir kita, yang tidak hanya berhubungan dengan masalah-masalah agama, tapi juga masalah-masalah dalam hidup lainnya. Karena hanya general framework untuk proses berpikir, ia bisa dipakai oleh siapa saja. Karena itu sayang kalau ketika berdiskusi dengan orang-orang non-Muslim orang-orang Islam tidak memahami framework ini. Mungkin dengan mengetahui kerangka dasar dalam berpikir dan berargumentasi macam ini, metode dalam memahami permasalahan dan perbedaan pandangan dalam agama dapat dimengerti, sehingga diskusi-diskusi maupun debatdebat dalam memahami agama dapat berjalan dengan baik, dengan menganalisa argument masing-masing pihak yang berbeda, tanpa menyerang pribadi, sehingga pertikaian dan perpecahan yang tidak diinginkan bersama bisa dihindari.
Wallahu'alam. M. Ridha