lama ngak posting nih,,, kali ini gue mau posting tentang logika dengan agama. namun ini hanya hasil dari penggabungan pengetahuan dari berbagai ilmu yang telah didapatkan, langasung aja yach... karna banyak nih yang akan mau dimengerti tentang hal-hal logika. namun apakah anda pantas mendapatkan ini.?
"Man
tamanthaqa faqad fazandaqa" , demikian ungkapan terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn
Taimiyyah. Arti harfiahnya kira-kira adalah, "Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir." Apakah
sikap seperti ini dapat dibenarkan? Ataukah memang mutlak salah? Apa implikasi
jika sikap seperti ini dibenarkan? Dan apa pula konsekuensinya jika ia mutlak
salah? Ataukah sikap seperti ini relatif, bisa benar sekaligus bisa salah
secara bersamaan atau secara fuzzy ?
Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti ini fuzzy atau relatif? Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya
akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa
mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di
alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti.
Penolakan terhadap kaidah berfikir ini mustahil (tidak mungkin). Bahkan
mustahil pula dalam semua khayalan yang mungkin (all possible intelligebles). Contohnya, sesuatu apapun pasti
sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya.
Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir.
Tertanam secara spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan
harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh,
prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak
mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi,
akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam
lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh bagunan agama, filsafat,
sains dan teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia. Sebagai contoh perkataan
‘Ibn Taimiyyah di atas, jika misal pernyataan itu benar, maka menggunakan
kaidah logika adalah salah. Karena menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip
non-kontradiksi salah. Kalau prinsip non-kontradiksi salah . Artinya
seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak bisa dibenarkan ataupun disalahkan,
atau bisa dibenarkan dan disalahkan sekaligus. Kalalu seluruh keberadaan tidak
bermakna, maka pernyataan itu sendiri "Man tamanthaqa faqad fazandaqa"
juga nafi. Tak bermakna. Tak perlu dipikirkan. Menerima kebenaran pernyataan
beliau tersebut sama saja dengan mengkafirkan beliau. Karena jika peenyataan
tersebut benar, maka untuk membenarkannya telah digunakan kaidah logika. Dan
karena beliau telah menggunakan kaidah logika, menurut pernyataan-nya sendiri
beliau kafir. Jadi sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan
logika ini benar-benar ditolak. Pernyataan ini salah. Salah. Dan mustahil
benar. Karena kalau benar, semua orang yang berfikir benar kafir. Dan ini
mustahil. "Wa qul jaa ‘al-haqqa wazahaaqal-baathil, innal-baathila kaana
zahuuqa." Dalam pandangan saya, Islam jelas menentang adanya
relativisme Kebenaran. Dalam Islam yang benar pasti benar dan tidak mungkin
salah. Sedang yang salah pasti salah dan tak mungkin benar. Dalam dunia
dikenali adanya golongan relativis kebenaran yang disebut sufastaiyyah. Golongan
relativis kebenaran ini merupakan pewaris mazhab pemikiran sophisme, yang bermula pada abad
ke-5 dan ke-4 SM di Yunani melalui pemikiran Protagoras, Hippias, Prodicus,
Giorgias dan lain-lain. Beberapa pemikiran yang mendasari gelombang
filsafat pasca-modernis juga merupakan cerminan dari pandangan golongan ini.
Dalam majalah Ummat No.3/Thn.I/7 Agustus 1995, hal
76, DR.Wan Mohd Nor Wan Daud menjelaskan bahwa Akidah Islam jelas menentang
keras sikap golongan Sufastaiyyah ini. Bagi golongan
sufastaiyyah, benar itu bisa salah dan salah itu bisa benar. Bagi golongan shopisme Yunani, semua yang jelas-jelas ada ini dianggap tidak
memiliki keberadaan. Jadi ada dan tiada sama saja. Bagi golongan positivis pasca- Renaisance, semua yang
tidak bisa diukur tidak bisa ditentukan benar salahnya. Bagi pengikut Marx dan
Hegel, kontradiksi bukan saja mungkin terjadi, tapi menjadi arah gerakan alam
yang sering disebut sebagai dialektika Hegel. Bagi golongan relativis pasca-modern, yang mendasarkan
pemikirannya pada language games ala
Wittgenstein ataupun Russel setiap proposisi adalah bahasa, dan setiap bahasa
nilai kebenarannya relatif, karena itu setiap keberanan itu relatif.
Adapun sufastaiyyah, misalnya sama.
Menghancurkan kaidah dasar logika. Yaitu prinsip non-kontradiksi. Hanya Protagoras meniadakannya dalam tingkatan
ada-tidaknya segala sesuatu, para positivis
meniadakannya pada tingkatan hal yang tidak bisa diindra, Marx dan Hegel
meniadaknnya sebagai watak umum segala yang maujud, dan Wittgenstein maupun
Russel menghilangkan otoritas fikiran untuk menerapkan kaidahnaya kepada alam
di luar fikiran. Hasilnya sama. Runtuhnya seluruh bangunan pengetahuan manusia.
Runtuhnya suatu bangunan keyakinan manusia. Bahkan keyakinan tentang adanya dirinya
sendiri ! Na’uudzubihi min dzaalik. Penerapan
kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof besar pada
keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan. Socraets dengan The
Most Beauty -nya. Plato dengan archetype -nya. Aristoteles
dengan prime-mover-nya.. ‘Ibn Arabi dengan al-jam’u
bainal-‘addaad (coincindentia in
oppositorium) nya. Suhrawardi dengan Nur-i-qahir
nya. Mulla
Shadra dan Mulla Hadi Sabzavary dengan Al-Wujud Al-Muthlaq-nya.
Jelas-jelas penerapan logika bagi mereka tidak menentang agama. Malah
sebaliknya, me-real-kan agama sampai ke seluruh pori-pori rohaninya yang mungkin.
Atau dengan kata lain, mencapai hakikat. Dalam dialog terakhir Socrates,
digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan sebelum
akhir hayatnya. Tentang Aristoteles, sebuah riwayat
menyatakan bahwa ia adalah seorang nabi yang didustakan ummatnya. Tentang ‘Ibn
‘Arabi, tidak ada yang menyangsingkan sebagai salah seorang sufi
terbesar sepanjang sejarah dengan tak terhitung pengalaman ruhani yang tertulis
di kurang lebih 700 kitabnya. Sedang Mulla Shadra , tujuh kali haji ke
Mekkah dengan berjalan dari Qum (Iran) hanya untuk memenuhi panggilan
kekasih-Nya. Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah kendaraan super-executive untuk mencapai hakikat.
Dan sekali lagi alih-alih logika menentang agama , tanpa logika agama tak-kan
dapat terpahami. Jadi apakah logika menentang agama?
Dalam kerangka befikir fiqhiy, ada suatu istilah
yang amat penting; fardhu. Fardhu
adalah kewajiban yang harus dilakukan. Fardhu
‘ain artinya kewajiban bagi tiap individu. Fardhu kifayah artinya kewajiban bagi setiap kelompok orang
(masyarakat). Setiap Muslim harus
melakukan sesuatu yang di-fardhu-kan
oleh Islam, walaupun dalam kasus fardhu
kifayah, kewajiban ini gugur pada saat ada Muslim lain yang telah
menunaikannya. Berfikir dengan kerangka fiqh,
membuat seorang berfikir fardhu-haram-makruh-sunnah-mubah.
Jika fardhu dan sunnah memperoleh pahala. Jika haram memperoleh dosa. Jika mubah
tidak memperoleh apa-apa. Berfikir seperti seorang pedagang. Barang dagangannya
"amal" .
Labanya "pahala" = "surga".
Ruginya "dosa" = "neraka". Dari sudut pandang ini, mungkin
ada orang yang bertanya ; menggunakan logika dalam Islam ini hukumnya apa? Apakah
fardhu atau lainnya? Atau lebih
gamblang lagi apakah seorang Muslim harus menggunakan logikanya untuk mencapai
Tauhid atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini , mungkin perlu kita tinjau
terlebih dahulu dua istilah dalam logika matematika, necessary & sufficient condition. Syarat perlu (atau syarat
mesti), dan syarat cukup.
Title : MENCOBA MENGERTI TENATANG LOGIKA (APAKAH LOGIKA MENENTANG AGAMA?)
Description : lama ngak posting nih,,, kali ini gue mau posting tentang logika dengan agama. namun ini hanya hasil dari penggabungan pengetahuan dari berb...